KHILAFAH DALAM ISLAM

 

KHILAFAH DALAM ISLAM[1]

UST. FATHUR ROHMAN S.Th.I, MSI.

 

A.    Pengertian Khilafah

Kata  berasal dari kata:  –  –  yang mempunya arti: menggantikan atau penggantian.[2]  Sedangkan orangnya (pemegang jabatan khilafah) disebut, jamaknya adalah  yang artinya:pengganti.[3]

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep khilafah, berikut ini akan penyusun uraikan pengertian khilafah yang terdapat dalam Alquran. Allah U berfirman dalam QS.Fathir [35] : 39

 

 

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah – khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.[4]

Kata  pada ayat tersebut di atas adalah bentuk jamak yang dipergunakan dalam empat ayat[5], dan bentuk mufradnya adalah  yang dipergunakan dalam dua ayat[6]. Bentuk jamak yang lainnya adalah  yang dipergunakan dalam tiga ayat[7], bentuk mufradnya adalah  , yang penggunaannya tidak terdapat dalam Alquran. Menilik penggunakan kata-kata tersebut dalam Alquran,maka terlihat kedua bentuk jamak itu dipergunakan dalam kontek yang berbeda. Kata  dipergunakan dengan menunjuk kepada umat manusia pada umumnya dan orang yang beriman khususnya, sedangkan kata  dipergunakan dalam konteks pembicaraan dengan orang-orang kafir ataupun ingkar kepada Tuhannya.

Menurut Abu Husain Ahmad Ibnu Faris Ibnu Zakariya,dalam kitabnya Mu’jam Maqayis al-Lughah, kata yang berakar dari  (kha’),  (lam), dan  (fa’) tersebut mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang dan perubahan[8]. Dengan makna yang demikian tersebut,maka kata kerja  –  dalam Alquran menurut Abdul Muin Salim dipergunakan dalam arti mengganti, baik dalam konteks penggantian generasi ataupun dalam pengertian penggantian kedudukan kepemimpinan[9]. Arti yang pertama yaitu penggantian generasi terdapat dalam QS.Maryam [19]: 59, sedangkan arti yang kedua yaitu penggantian kedudukan kepemimpinan terdapat dalam Q.S.al-A’raf [7]: 142.

 

059. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan[10].

 

142. Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”[11]

Bentuk kata kerja lainnya yang dipergunakan dalam Alquran adalah     –  , yang antara lain bermakna  atau menjadikan. Dengan makna yang demikian maka kata kerja tersebut mempunyai makna menjadikan khalifah[12]. Kata kerja ini misalnya dapat dijumpai dalam penggunaan ayat QS. al-A’raf [7]: 129.

 

129. Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir`aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu[13].

Dari kata   –  ini, akan terbentuk kata sifat yaitu  yang mufradnya adalah  yang artinya orang yang diangkat sebagai khalifah. Seperti yang terdapat dalam firman Allah U. QS. al-Hadid (57): 7

 

Artinya:“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar[14].

Ayat ini mengemukakan perintah Allah U agar manusia beriman dan menafkahkan sebagian rezeki yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, ayat ini juga mengemukakan bagaimana hubungan manusia dengan harta yang diperolehnya. Dalam hal ini mereka berkedudukan sebagi khalifah untuk mengurus harta yang telah diperolehnya. Ini memberikan pengertian bahwa konsep yang terkandung dalam kata  tidak hanya mempunyai makna penggantian generasi, namun juga berkonotasi fungsional[15].

Secara lebih jelas dapat dilihat pada ayat QS. Shad [38]: 26[16], dan dalam kesempatan lain Allah U juga berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 30[17], ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Alquran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia. Berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud, beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut[18]. Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Daud memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola suatu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah yang membicarakan tentang pengangkatan Nabi Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan untuk mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik[19].

As-Suyuti menukil pendapat Salman al-Farisi,bahwa khalifah adalah kepala pemerintahan umat Islam. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan al-Qurthubi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh al-Wahidi dan as-Syaukani. Keduanya membatasi istilah khalifah pada kepemimpinan para Nabi secara bergantian guna menegakkan hukum Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan oleh al-Fairuzzabadi, al-Zamakhsyari dan an-Nawawi yang melihat kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai kepala pemerintah[20].

Pendapat para ulama’ di atas memperlihatkan adanya persamaan pendekatan, yang melihat konsep khilafah dari sudut pandang kepemimpinan dan pemerintahan[21]. Dengan pemaknaan yang demikian, maka khilafah dalam konteks ini mencakup berbagai unsur penting didalamnya yaitu bumi/ wilayah, orang yang mendapatkan kekuasaan politik atau mandataris, serta hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan Pemberi kekuasaan[22].

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah suatu jabatan yang berfungsi memimpin umat sesuai dengan tuntutan syariat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, karena menurut pencipta syariat (Allah U) bahwa hal ihwal dunia seluruhnya dipandang sebagai jalan menuju kemaslahatan akhirat. Karena itu, Khilafah pada hakikatnya adalah jabatan pengganti Pencipta Syariat (Allah U) yang bertugas memelihara agama dan mengurus dunia[23].

Bahesti dan Bahonar memberikan definisi tentang khilafah adalah sebagai berikut:

“Khilafah adalah istilah lain untuk kepemimpinan tertinggi dalam urusan sosial keagamaan. Istilah ini juga mengisyaratkan persoalan suksesi Rasulullah. Seorang khalifah adalah seorang pengganti Rasul dan pemangku jabatan kepemimpinan umat Islam dalam urusan dunia dan agama”[24].

Adapun Rasyid Ridha, mendefinisikan Khilafah sebagai berikut:

“Khilafah, imamah, imarah adalah tiga kata yang bermakna sama, yaitu kepemimpinan negara Islam yang meliputi kemaslahatan dunia dan agama”[25].

Imamah, sebagai istilah yang memiliki makna yang sama dengan Khilafah, menurut segi bahasa berasal dari kata:  [26]. Sedangkan orangnya (pemegang jabatan imamah) disebut imam/  , jamaknya adalah  yang berarti pemimpin/ kepemimpinan[27].

Menurut Istilah, pengertian imamah seperti dikemukakan oleh al-Mawardi adalah sebagai berikut:

“Suatu kepemimpinan negara yang bertugas untuk melanjutkan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia”[28].

Menurut Ali Syari’ati, definisi Imamah sebagai berikut:

“Imamah adalah kepemimpinan progressif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan manusia menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian”[29].

Menurut M.Husein Thabathaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang kepemimpinan dalam masyarakat di bidang politik dan keagamaan[30]. Dalam Leksikon Islam juga disebutkan, bahwa yang dimaksud imamah adalah lanjutan tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia[31].

Adapun Imarah, dilihat dari bahasa berasal dari kata: , sedangkan orangnya (pemegang jabatan Imarah) disebut  jamaknya adalah:  , yang mempunyai makna Kepala Negara, pemimpin/ kepemimpinan[32].

Istilah Amir (Imarah) digunakan untuk gelar bagi jabatan-jabatan penting yang bervariasi dalam sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam, seperti Amir al-Mukminin, Amir al-Muslimin, dan seterusnya, karena itu ia bisa digunakan untuk gelar kepala pemerintahan[33].

Secara resmi penggunaan kata “amir” yang berarti pemimpin komunitas Muslim, muncul pertama kali di Saqifah Bani Sa’idah[34], ketika sedang terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin untuk menentukan seorang pemimpin pengganti Nabi r, kaum Anshor berkata: “Dari Kami seorang Amir (pemimpin)dan dari kamu seorang Amir (pemimpin). Pihak Muhajirin kemudian menjawab: “Kami adalah umara’ dan kalian sebagai wuzara’ (menteri).” Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar y. Namun demikian, Abu Bakar y tidak menggunakan gelar Amir, melainkan khalifah Rasul. Gelar Amir (Amir al-Mukminin) yang setingkat dengan khalifah baru digunakan pada masa khalifah Umar bin Khattaby[35].

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan tersebut,dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan khilafah/ imamah/ imarah adalah suatu jabatan kepala negara/ kepemimpinan negara yang dipegang oleh seseorang dalam rangka untuk mengatur urusan umat manusia,yang meliputi urusan dunia (sosial-kemasyarakatan) dan akhirat (keagamaan).

 

B.    Tujuan dan Kedudukan Khilafah

1.      Tujuan Khilafah

Secara eksplisit, tujuan khilafah dalam Islam dapat ditemukan dalam pengertian atau definisi tentang khilafah itu sendiri.

Dari beberapa pengertian dan definisi yang telah penyusun kemukakan tersebut, dapatlah ditarik beberapa pemahaman yang berkaitan dengan tujuan khilafah, yaitu:

a.      Khilafah dalam Islam adalah bertujuan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia[36].

b.      Menegakkan keadilan dalam kehidupan umat manusia dan memberantas kedzaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan[37].

Dalam hal ini Allah I.berfirman dalam QS. al-Hadid [57] :25

 

Artinya:“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia,(supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa[38].

c.       Untuk mewujudkan sebuah sistem politik dan berlakunya hukum Islam dalam masyarakat, serta terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dan cita-cita seperti ini tersimpul dalam ungkapan Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur yang mengandung arti Konsep negeri yang sentosa dan sejahtera serta dalam ampunan Tuhan. Cita-cita ini merupakan ideologi Islam karena ia merupakan nilai-nilai yang diharapkan dapat terwujud, sehingga dengan demikian diperoleh sarana dan wahana untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai mahluk Allah I yang diberi kedudukan sebagai khalifah dalam membangun kemakmuran di muka bumi untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak[39].

Sesuai dengan janji Allah swt.cita-cita tersebut hanya dapat dicapai dengan iman dan amal sholih. Hal ini bermakna bahwa manusia harus mengakui dan mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah r dan melaksanakan usaha pembangunan material spiritual, memelihara dan ikut melaksanakan ketertiban dan keamanan bersama. Usaha ini pada hakikatnya adalah penerapan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang diwajibkan atas setiap mukmin dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Dari sini, tampak bahwa kedudukan politik sebagai sarana dan wahana yang diwakili pemerintah merupakan pelaksanaan bagi tegaknya ajaran agama[40].

d.      Menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh makhluk Allah dan khususnya umat manusia, baik itu seorang Muslim ataupun nonMuslim. Ajaran-ajarannya tentang ibadah dan mu’amalat, tentang perang dan damai, semuanya ditetapkan sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Oleh karena itu, unsur keharusan dalam penetapan-penetapan hukum lebih kuat dibandingkan dengan penetapan-penetapan hukum buatan manusia karena penetapan-penetapan hukum Islam adalah penetapan dari Tuhan yang sudah pasti kebenarannya dan kemanfaatannya[41].

e.      Mengupayakan dengan segala cara yang dibenarkan untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong-menolong di antara mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga Negara, sehingga seluruh umat menjadi laksana bangunan yang kokoh[42].

f.        Memberikan penjelasan keagamaan yang benar dan menghilangkan keragu-raguan terhadap hakikat Islam kepada seluruh manusia, mengajak manusia kepada Islam dengan kasih sayang, melindungi kepada seseorang dari tindakan golongan yang anti agama dan agressor serta membela syariat terhadap seseorang yang ingin melanggar hukumnya[43].

 

2.      Kedudukan Khilafah

Diantara ciri-ciri Islam adalah sifatnya yang universal. Setiap aspek kehidupan tidak pernah terlepas dari pengamatannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam nash-nashnya senantiasa didapatkan hukum-hukum tentang ibadah, akhlaq, aqidah, mu’amalah serta tata cara hidup dan kehidupan dalam arti yang luas, mencakup peraturan antara individu, baik sebagai pribadi maupun sebagi kelompok sosial. Dalam hal ini Allah I berfirman dalam QS. al-An’am [6]: 38

 

Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [44]

Karena Islam sebagai agama yang universal, maka dalam hukum dan undang-undangnya banyak didapatkan ketentuan dan ketetapan-ketetapan hukum yang berurusan dengan masalah kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, seperti prinsip musyawarah, penanggungjawab hukum (pemerintah), kewajiban taat kepada pemimpin dalam garis kebajikan dan taqwa, hukum perang dan damai, serta berbagai macam bentuk keputusan ataupun perjanjian yang dilakukan antara pemerintah dengan bangsa lain, dan seterusnya. Pada dasarnya, hukum-hukum ini harus benar-benar ditegakkan oleh pemimpin negara di dalam suatu lembaga pemerintah, karena ia memiliki kekuasaan dan wewenang dalam mengatur tiap-tiap individu, walaupun hal itu tidak berarti bahwa hanya individulah yang dituntut menegakkan serta melaksanakan hukum, namun juga yang merupakan bagian dari anggota masyarakat.

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah memberikan suatu penjelasan bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling utama bagi agama adalah mengatur masyarakat. Akan tetapi, misi agama yang paling utama ini tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan negara. Oleh sebab itu Allah I menganjurkan untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebajikan serta melarang segala bentuk kejahatan, menolong orang-orang yang tertindas dan teraniaya, termasuk juga kewajiban lain yang tidak kalah pentingnya seperti menegakkan keadilan dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, dengan memberikan sanksi-sanksi hukum atas suatu tindak pidana dan kriminalitas. Semua itu tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan yang diatur dalam bentuk pemerintahan[45].

Berdasarkan hal tersebut, maka nampak sekali bahwa kedudukan kepemimpinan negara memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Segala urusan yang berhubungan dengan masalah sosial kemasyarakatan semuanya berada di tangan kewenangan seorang pemimpin. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa seorang pemimpin negara harus menjalankan tugas kepemimpinannya dengan cara absolut dan antimusyawarah. Akan tetapi, segala sesuatu harus diputuskan berdasarkan hasil musyawarah.

Disinilah tampak sekali bahwa kedudukan seorang khalifah (pemimpin) pada dasarnya tidak lebih dari sekedar fasilitator bagi rakyatnya, atau dengan kata lain, ia mempunyai tugas untuk melayani dan mengurusi kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan, bahwa doktrin tentang khilafah yang disebutkan dalam Alquran, adalah segala sesuatu yang ada di atas bumi ini, berupa daya dan upaya yang diperoleh seorang manusia, hanyalah semata-mata karunia dari Allah I dan Allah tidak menjadikan hal itu sehingga ia dapat menggunakan pemberian-pemberian yang dilimpahkan kepadanya ini sesuai dengan ridha-Nya. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa ataupun pemilik dunia, namun ia hanyalah seorang khalifah (wakil) dari sang pemilik sejati yaitu Rabb semesta alam[46].

 

C.     Khilafah dalam Perspektif Alquran

Setiap muslim tentu akan sepakat bahwa kedaulatan tertinggi hanya milik Allah I. Dengan tetap mengingat prinsip ini, bila mengamati posisi mereka yang diutus untuk menegakkan hukum Allah di bumi seperti halnya para Rasul, maka wajar bila setiap muslim menganggap mereka sebagai wakil-wakil dari penguasa tertinggi dan Islam telah menggariskan hal tersebut. Ada baiknya menyimak beberapa penjelasan Alquran tentang hal ini. Dalam Alquran terdapat dua kata khalifah,yang pertama adalah untuk nabi Adam u. Alquran menyatakan dalam surat al-Baqarah [2] :30

 

Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[47]

Kemudian yang kedua untuk nabi Daud u yang diperintahkan untuk berhukum kepada kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan diri dari jalan Allah I. Alquran menyatakan dalam surat Shad [38]: 26

 

Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.”[48]

Adapun bentuk jamak dari khalifah yaitu khalaif dan khulafa, di dalam Alquran terdapat empat kata khalaif dalam empat ayat. Kata khalaif dipakai Alquran untuk menyebut suatu generasi manusia yang tampil menggantikan generasi sebelumnya yang hancur karena perbuatan dzalimnya. Alquran menyatakan:

 

Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.”[49]

 

Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh,Maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera,dan kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”[50]

 

Artinya: “Dan ia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[51]

 

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir,Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”[52]

Sedangkan kata khulafa terdapat tiga kata dalam tiga ayat, untuk kata khulafa yang pertama di dalam Alquran menyebutkan tentang kaum nabi Hud u yang menggantikan kaum nabi Nuh u. Alquran menyatakan:

 

Artinya: “Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”[53]

Sedangkan kata khulafa yang kedua menjelaskan tentang kaum Tsamud yang menggantikan kaum ‘Aad. Kaum Tsamud ini dikenal unggul dalam membangun gedung dan memahat gunung untuk dijadikan sebagai tempat tinggal mereka. Alquran menyatakan:

 

Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”[54]

Adapun kata khulafa yang ketiga menjelaskan tentang semua proses penggantian yang dimungkinkan karena kehendak dari Allah I semata, sebagai perintah agar manusia tidak melakukan perbuatan dzalim dan menyekutukan Allah I. Alquran menyatakan:

 

Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).”[55]

Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa yang pada mulanya berarti “di belakang ”, kemudian pada perkembangannya kata khalifah, khalaif dan khulafa, seringkali diartikan sebagai “pengganti ” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang belakangan, sesudah yang digantikannya).

Ayat lain yang kerap dijadikan acuan untuk melegitimasi kekhilafahan ialah ayat yang menggunakan redaksi istikhlaf, ayat tersebut adalah sebagai berikut:

 

Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)itu, Maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”[56]

Redaksi ayat tersebut di atas menggunakan kata/ huruf lam qasam kemudian yastakhlifa dan nun tasydid yang berarti ta ’kid (penekanan). Kata yastakhlifa berasal dari bentuk istakhlafayastakhlifu, yang berarti “akan menjadikan pengganti”[57], akar dari kata khalafa –kata pengganti (khalifah). Sedangkan khalifah adalah istilah yang telah disepakati sebagai bentuk panggilan kepala pemerintahan atau pemimpin. Maka kata “layastakhlifannahum” bermakna “Allah I benar-benar akan memberikan kekhalifahan kepada mereka (yang beriman dan beramal salih).”

Dalam pandangan penulis, ketika bermaksud merujuk pada Alquran untuk mengetahui kandungan makna khilafah, tentu diperlukan pula memilih ayat-ayat lain yang sekiranya memuat kandungan makna khalifah dalam arti “pimpinan” (karena Alquran berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang lainnya). Dalam hal ini Quraish Shihab sepakat dengan pernyataan al-Tabrasi yang mengemukakan bahwa kata imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja kata imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti “depan” yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata “belakang”[58]. Sedangkan Khalid Ibrahim Jindan menambahkan bahwa dalam kajian khilafah, kata imam dan khalifah dapat digunakan secara timbal balik, kecuali yang memerlukan penjelasan bersifat khusus[59].

Ibnu Manzur dalam kitabnya –Lisaan al-‘Arab– menjelaskan  bahwa kata imam berarti tujuan atau maksud, jalan dan agama, megimami atau maju menjadi pemimpin/ima m bagi mereka[60]. Dari sini penulis berasumsi, sedikit ataupun banyak akan mendapatkan informasi tentang khilafah dengan menelusuri ayat-ayat yang mengandung kata imam.

Di dalam Alquran kata imam terulang sebanyak tujuh kali, namun kesemuanya bertumpu pada arti “sesuatu yang dituju dan atau diteladani”. Selanjutnya dari tujuh ayat tersebut terlihat hanya ada dua yang bernada sama dan dapat dijadikan rujukan dalam persoalan khilafah, yaitu yang berkategori pemimpin dalam kebajikan. Kedua ayat tersebut terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 124 dan QS. Al-Furqan [25]: 74[61].

Kemudian, ayat lain yang memungkinkan memiliki kandungan makna atau barangkali definisi maupun signifikansi khila>fah adalah ayat yang berkenaan dengan perintah taat kepada ulil amri.Kata ulil amri di dalam Alquran terdapat dalam dua tempat, yaitu QS.An-Nisaa’ [4] :59 dan ayat 83, namun yang sering menjadi perdebatan adalah ayat yang –menurut penulis– secara  redaksional memberikan ruang interpretasi yang cukup signifikan dalam masalah kepemimpinan, yaitu QS. An-Nisaa’ [4] :59

 

059. Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya[62].

Sejarah mencatat perbedaan penafsiran terhadap ayat tersebut di atas amat sarat dengan nuansa politis, khususnya pada masa penghapusan kekhalifahan Turki Usmani di Turki pada tahun 1924. Sejak itu kalangan pemikir Islam berusaha untuk menginterpretasi kembali tentang teori politik Islam yang sesuai dengan ajaran Islam.


[1]   Ditulis ulang dan diedit dari Thesis Ust. Fathur Rohman S.Th.I, MSI yang digunakan prasarat kelulusan program pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tambahan seperlunya. Digunakan bagi kemaslahatan ummat pada umumnya dan warga kemas’ulan DIY pada khususnya.

[2]   H.Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: t.np. 1973), hlm.120.

[3]   Ahmad Warson Munawir,Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pondok Pesantren “Al-Munawwir, 1984), hlm.392.

[4]   Departeman Agama Republik Indonesia,Alquran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.645-646.

[5]   QS.Al-An’am [6]: 165.

 

165. Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

QS.Yunus [10]: 14, 73.

 

14. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.

 

073. Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.

 

[6]   QS. Al-Baqarah [2]: 30

 

030. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

 

QS. Shad [38]: 26.

 

026. Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

[7]   QS. Al-A’raf [7]: 69, 74

 

069. Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada Kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

 

074. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah ni`mat-ni`mat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.

Q.S.An-Naml [27]:62.

 

062. Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).

[8] Abdul Muin Salim,Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran (Jakarta:LSIK, 1994).hlm.111.

[9] Ibid.,hlm.112.

[10] CD ROM Quran Player 2.1, sahryainforma(www.sahryainforma.com)

[11] Ibid

[12] Abdul Muin Salim,Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran (Jakarta:LSIK, 1994),hlm.113

[13] CD ROM Quran Player 2.1, sahryainforma(www.sahryainforma.com)

[14] Deperteman Agama Republik Indonesia,Alquran ….,hlm.901.

[15] Abdul Muin Salim,Konsepsi Kekuasaan …,hlm.114.

[16]

026. Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

[17]

030. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

 

[18] M.Quraish Shihab,Wawasan Alquran (Bandung:Mizan,1996),hlm.422.

[19] Ibid.,hlm.423.

[20] Abdul Muin Salim,Konsepsi Kekuasaan ….,hlm.115-116.

[21] Ibid.,hlm.116.

[22] M.Quraish Shihab, Wawasan …, hlm. 424.

[23] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 234-235.

[24] Bahesti dan Bahonar, Prinsip-prinsip Islam dalam Alquran, terj. Sufyan Abu Bakar (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hlm. 149.

[25] Rasyid Ridha, Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzma (Kairo: Daar al-Misr,t.t), hlm. 10.

[26] H. Mahmud Yunus, Kamus …, hlm. 48.

[27] Ahmad Warson Munawir, Kamus …, hlm. 44.

[28] al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Kairo:Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu,1973),hlm.5.

[29] Ali Syari’ati, Islam Madzhab Aksi dan Pemikiran,terj.Afif Muhammad (Bandung: Mizan,1992),hlm.65.

[30] M.Husein Thabathaba’i, Islam Syi’ah, terj. johan Efendi (Jakarta: Grafiti,1993), hlm. 199.

[31] Tim Penyusun Pustaka Azet, Leksikon Islam (Jakarta: Pustaka Perkasa,1993), hlm. 212.

[32] Ahmad Warson Munawir, Kamus …,hlm.41.

[33] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikirannya (Jakarta:LSIK, 1995), hlm.63.

[34] Saqifah Bani Sa’idah adalah balai pertemuan yang berada di Madinah, seperti Dar an-Nadwah yang berada di Mekkah, balai pertemuan orang Quraisy. Sudah menjadi kebiasaan kaum Anshor untuk berkumpul di tempat itu untuk mendiskusikan masalah-masalah umum, sebagaimana kebiasaan kaum Quraisy berkumpul di Dar an-Nadwah.

[35]     J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah …..hlm. 64.

[36]     Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah …,hlm.5

[37]     Abu al- A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj.Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan,1988),hlm.75

[38] Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran …., hlm. 905.

[39] Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan …., hlm. 298.

[40] Ibid.

[41] Ibid.

[42] M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj.M.Thalib (Surabaya: Al-Ikhlas,1963), hlm. 175.

[43] Ibid.

[44] Deperteman Agama Republik Indonesia, Alquran …., hlm. 192.

[45] Abdul Karim Zaidan,”Individu dan Negara dalam Pandangan Islam “, dalam Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, terj. Jamaluddin Kafie (Surabaya:Bina Ilmu, 1984), hlm. 126-127.

[46] Abu al-A’la al-Maududi,Khila>fah dan …,hlm.64.

[47] Deperteman Agama Republik Indonesia, Alquran ….,hlm.13.

[48] Ibid, hlm. 736.

[49] QS.Yunus [10]: 14.

[50] QS.Yunus [10]: 73.

[51] QS.Al-An’am [6]: 165.

[52] QS.Fathir [35]:39.

[53] QS.Al-A ’raf [7]: 69.

[54] QS.Al-A ’raf [7]: 74.

[55] QS.An-Naml [27]: 62.

[56] QS.An-Nur [24]: 55.

[57] Ahmad Warson Munawir, Kamus …, hlm. 391.

[58] Qurais Shihab, Membumikan Alquran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 163.

[59] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, terj. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),hlm.8.

[60] Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: al-Matba’ah al-Amiriyah, 1302 H), jilid XIV, hlm. 953.

[61]

 

124. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqoroh [2]: 124)

 

074. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqon [25]: 74)

[62] Deperteman Agama Republik Indonesia, Alquran …., hlm. 128.

~ oleh Qismut Tarbiyyah Wat Ta'lim pada Juli 31, 2008.

5 Tanggapan to “KHILAFAH DALAM ISLAM”

  1. Assalamu’alaikum wr, wbr,

    Alhamdulillah dengan adanya situs khilafah ini ana dapat lebih memahami perjuangan addien ini, dan ana harapkan mari kita bersama-sama kita berjuang sampai kalimat Allah ini menang atau kita yang mati dalam rangka memenangkan dien Islam ini di atas Dien/sistem yang lain.

    Wassalamu’alaikum wr,wbr.

  2. alhamdulillah ane dah baca sedikitbanyak tulisan-tulisan antum….! uraian-nya begitu jelas dan alhamdulillah mudah dipahami oleh lapisan masyarakat. akhi…! ane hanya bisa berpesan lewat tulisan ini “teruskanlah mendakwahi khilafah ini dengan sabar, karna ia adalah sistim Allah. ingat……!! engkau memang tidak mendapatkan apa-apa didalamnya (materi duniawi), tetapi ia adalah IHSAN (Qs. 9:100, “buah dari iman dan islam), taiada balasan kecuali RODIALLAHU A’NHUM WA RADU A’NHU – WAJANNAH. SUNGGUH ALLAH BERSAMAMU. ALLAHUAKBARR……3X.

  3. Al Khilafah

    Al Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban da’wah ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khila¬fah adalah Imamah. Imamah dan khilafah mempunyai arti yang sama. Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki konotasi yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun, baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin boleh menuggunakan salah satu dari kedua¬nya, apakah istilah khilafah ataupun imamah. Sebab yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.

    Khilafah adalah akad yang dibangun berdasarkan kerelaan dan pilihan, karena merupakan bai’at untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Jadi dalam hal ini harus ada kerelaan dari pihak yang dibai’at untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan pihak yang membai’atnya. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimanya, tetapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan itu. Demikian pula tidak boleh mengambil bai’at dari kaum muslimin dengan kekerasan dan pemaksaan, karena dalam kea¬daan demikian akad yang dilakukan tidak dianggap sah. Sebab, khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pili¬han, tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan sebagaimana halnya pada akad-akad umumnya.

    Hanya saja ketika pelaksanaan akad bai’at telah sempurna dilaksanakan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk membai¬’at, maka sahlah akad bai’at itu. Dalam hal ini orang yang dibai¬’at telah menjadi Waliyul Amri, pemegang tampuk kekuasaan, yang harus ditaati. Status bai’at yang diberikan kepadanya setelah itu menjadi bai’at taat, bukan lagi bai’at untuk akad khilafah. Pada saat itu dia boleh memaksa orang-orang yang belum berbai’at untuk berbai’at kepadanya, karena pemaksaan tersebut adalah untuk mentaatinya dan secara syar’i hal ini hukumnya wajib. Pemaksaan bai’at tersebut bukan untuk akad bai’at mewujudkan khilafah se¬hingga bisa dinyatakan tidak sah apabila di dalamnya ada unsur paksaan. Atas dasar itu bai’at pada tahap awal merupakan suatu akad yang hanya bisa dikatakan sah manakala terdapat kerelaan dan pilihan dari kedua pihak. Adapun setelah dilaksanakan akad bai’at pengangkatan khalifah, hal itu berubah menjadi ketaatan, yaitu kesiapan melaksanakan perintah khalifah, dan untuk ini boleh ada pemaksaan dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT.

    Oleh karena khilafah merupakan suatu akad, maka tidak akan sempurna tanpa adanya Akid, yaitu pihak pertama yang menginginkan akad. Sebagaimana halnya dalam masalah pengadilan (qadla), seseorang tidak sah menjadi Qadli kecuali setelah pihak yang berwenang menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Demikian pula dalam masalah pemerintahan, seorang amir tidak sah kecuali sete¬lah jabatan tersebut diserahkan kepadanya oleh pihak yang memi¬liki wewenang dalam hal ini. Dalam hal khilafah, seseorang tidak akan menjadi khalifah tanpa adanya suatu pihak yang men¬gangkatnya. Jelaslah bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kalau kaum muslimin, sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, tidak menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Dia akan memiliki wewe¬nang pemerintahan hanya jika pelaksanaan akad khilafah kepadanya berjalan secara sempurna. Akad ini tidak akan terlaksana tanpa adanya dua pihak yang berakad. Pihak pertama adalah orang yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan khila¬fah. Pihak kedua adalah kaum muslimin yang telah rela sepenuhnya kepada pihak pertama untuk menjadi khalifah mereka. Oleh karena itu, dalam hal pengangkatan khilafah harus ada bai’at dari kaum muslimin.

    Dengan demikian, jika ada seseorang merebut kekuasaan dan berhasil mengambil alih pemerintahan, maka tidak secara otomatis menjadi khalifah, sekalipun telah memproklamirkan diri sebagai khalifah kaum muslimin, karena dia tidak diangkat oleh kaum muslimin. Kalaupun seandainya orang itu mampu mengambil bai’at dari kaum muslimin dengan cara paksa dan kekerasan, statusnya tetap tidak menjadikannya khalifah –walaupun bai’at telah di¬langsungkan. Sebab, bai’at dengan cara paksa dan atau tekanan tidak dianggap sah dan tidak dapat mewujudkan akad khilafah, karena khilafah adalah akad saling rela dan bebas memilih yang tidak akan sempurna apabila pelaksanaannya terdapat unsur paksaan dan tekanan. Walhasil, akad khilafah hanya akan terwujud dengan bai’at yang dilandasi dengan kerelaan dan pilihan.

    Namun, kalau orang yang merebut kekuasaan itu dapat meyakin¬kan kaum muslimin bahwa kemaslahatan mereka akan terwujud dengan berbai’at kepadanya; juga bahwa tegaknya hukum syara’ telah mengharuskan mereka berbai’at kepadanya; dan mereka pun mau menerimanya dengan rela, lalu membai’atnya dengan penuh kerelaan dan kebebasan memilih, maka jadilah ia seorang khalifah yang sah semenjak bai’at –yang penuh kerelaan dan kebebasan memilih– dilaksanakan, walaupun pada awalnya ia mengambil kekuasaan dengan cara paksa. Jadi yang menjadi syarat ialah terwujudnya bai’at dengan kerelaan dan kebebasan, walaupun orang yang dibai’at tersebut telah menjadi seorang penguasa/pemerintah ataukah belum.

    Adapun orang-orang yang bai’atnya representatif sehingga khilafah terwujud dengan sah dapat difahami dari apa yang pernah terjadi pada pembai’atan Khulafaur Rasyidin dan ijma’ para shaha¬bat. Pembai’atan Abu Bakar Ash Shiddiq cukup dilakukan oleh Ahlul-Halli wal ‘Aqdi dari kalangan kaum muslimin yang berada di Madinah saja. Kaum muslimin yang berada di Makkah maupun di seluruh jazirah Arab, tidak dimintai pendapatnya, bahkan mereka tidak ditanya. Demikian pula halnya pada pembai’atan Umar bin Khaththab. Sedangkan pada pembai’atan Utsman, Abdurrahman bin Auf ternyata mengambil pendapat seluruh kaum muslimin di Madinah, dan tidak membatasi pendapat hanya dari ahlul-halli wal ‘aqdi sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ketika mencalonkan Umar. Pada masa Ali bin Abi Thalib, pembai’atan cukup dilakukan oleh mayoritas penduduk Madinah dan penduduk Kufah. Beliaulah satu-satunya orang yang dibai’at. Bai’atnya dianggap sah, sampaipun dalam pandangan orang-orang yang menentang dan memeranginya. Sebab, terbukti bahwa mereka tidak membai’at yang lain dan tidak menyangkal pembai’atannya. Mereka hanya menuntut keadilan atas tumpahnya darah Utsman. Jadi status mereka dihukumi sebagai bughat (pemberontak) yang menentang khalifah mengenai suatu persoalan. Khalifah hendaknya menjelaskan persoalan tersebut kepada mereka dan memerangi mereka. Merekapun terbukti tidak membentuk khilafah yang lain.

    Dari semua yang telah terjadi –yaitu pembai’atan khalifah oleh mayoritas penduduk ibukota saja tanpa menyertakan penduduk daerah– semuanya didengar dan disaksikan oleh para shahabat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang dan mengingkari tindakan yang hanya mencukupkan pembai’atan dilakukan oleh mayo¬ritas penduduk Madinah, kendati dalam masalah lain –tentang pribadi calon khalifah atau tindakan-tindakannya– mereka saling berselisih pendapat, namun ternyata mereka tidak mengingkari tindakan mencukupkan pembai’atan dari mayoritas penduduk Madinah.
    Dengan demikian hal itu menjadi ijma’ shahabat bahwa akad khilafah dapat diwujudkan oleh orang-orang yang dapat mewakili kaum muslimin dalam hal pemerintahan. Sebab ahlul halli wal ‘aqdi dan sebagian besar penduduk Madinah pada waktu itu dianggap mewakili pendapat mayoritas umat tentang pemerintahan di seluruh wilayah daulah Islam.
    Atas dasar ini khilafah dapat terwujud dengan sah jika pembai’atannya dilaksanakan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umat Islam yang berada dalam wilayah ketaatan kepada khalifah sebelumnya, dimana akan dilangsungkan pemilihan penggantinya sebagaimana yang terjadi pada masa khula¬faur rasyidin. Pada saat itu bai’at mereka menjadi bai’at in’i¬qad khilafah. Adapun setelah bai’at in’iqad terlaksana, maka bai’at yang dilakukan oleh selain para wakil tersebut adalah bai’atuth tha’at, yaitu bai’at untuk melaksanakan perintah khali¬fah, jadi bukan bai’at untuk mengangkat khalifah.

    apabila salah satu negeri Islam tertentu telah membai’at seorang khalifah dan sah aqad in’iqadnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berbai’at kepadanya sebagai bai’at taat, yaitu bai’at ketundukan, setelah khilafah terwujud dengan pembai’atan penduduk negeri itu. Dalam hal ini tidak dibedakan, apakah negeri tersebut adalah negeri yang besar seperti Mesir, Turki, Indonesia, ataukah negeri kecil seperti Albania, Kamerun, atau Lebanon. Yang penting negeri itu memenuhi empat syarat, yaitu:

    1. Kekuasaan negeri itu haruslah mandiri, hanya bersandar kepada kaum muslimin saja dan bukan kepada salah satu negara kafir atau di bawah pengaruh orang-orang kafir.

    2. Keamanan bagi kaum muslimin di negeri itu adalah keamanan Islam bukan keamanan kufur, artinya pemeliharaan keamanan mereka dari gangguan luar dan dalam negeri, berasal dari kekuatan kaum muslimin sebagai suatu kekuatan Islam semata.

    3. Negeri tersebut segera menerapkan Islam secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban da’wah Islam.

    4. Khalifah yang diba’iat harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat afdlaliyah, karena yang menjadi patokan adalah syarat-syarat in’iqad.

    Jadi, apabila negeri itu telah memenuhi empat syarat terse¬but berarti khilafah telah terwujud dengan terlaksananya bai’at di negeri itu kepada khalifah, walaupun negeri itu tidak mewakili mayoritas Ahlul Halli Wal ‘Aqdi bagi sebagian besar umat Islam. Sebab mendirikan khilafah adalah fardlu kifayah. Bagi yang menjalankan fardlu itu dalam bentuk yang benar, berarti telah berhasil melaksanakan sesuatu yang difardlukan. Adapun persyara¬tan mayoritas ahlul-halli wal aqdi itu berlaku manakala khilafah telah ada dan hendak diangkat khalifah baru sebagai pengganti khalifah sebelumnya yang meninggal atau diberhentikan.

    Namun apabila keadaan benar-benar tidak ada khilafah dan baru hendak ditegakkan, maka dengan sekedar terwujudnya khilafah yang sesuai dengan ketentuan syara’ berarti khilafah telah terwu¬jud, siapapun yang menjadi khalifahnya asal memenuhi syarat-syarat in’iqad, dan berapa pun jumlah orang yang berbai’at kepa¬danya. Sebab dalam keadaan seperti di atas, yang menjadi perma¬salahan adalah melaksanakan suatu kewajiban yang tidak dijalankan oleh kaum muslimin dalam tempo lebih dari tiga hari. Kelalaian mereka ini sama saja dengan membuang hak untuk memilih orang yang mereka kehendaki. Jadi cukuplah apabila ada sebagian orang yang dapat melaksanakan fardlu dalam pengangkatan khilafah tersebut.
    Jika khilafah telah berdiri di negeri itu dan khalifah telah terwujud, maka kaum muslimin di seluruh dunia wajib untuk berga¬bung di bawah panji khilafah dan berbai’at kepada khalifah. Sebab kalau tidak, semuanya akan berdosa di sisi Allah. Dalam hal ini khalifah harus mengajak mereka agar berbai’at kepadanya. Kalau mereka tetap tidak mau, maka mereka dapat dianggap sebagai bughat, dan khalifah wajib memerangi mereka sampai akhirnya tunduk dan mentaatinya
    Jika terjadi pembai’atan khalifah lain di negeri yang sama ataupun di negeri lain setelah khalifah yang pertama dibai’at secara syar’i dan telah memenuhi empat persyaratan tersebut, maka wajiblah kaum muslimin memerangi khalifah yang kedua sampai berbai’at kepada khalifah yang pertama. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
    “(Dan) Siapa saja yang telah berbai’at kepada seorang imam dan dia pun telah memberikan transaksi tangannya dan buah hatinya, hendaknya ia mentaati imam itu selagi masih mampu. Jika ada orang lain akan mencabut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang lain itu”.

    Juga berdasarkan fakta bahwa yang menyatukan kaum Muslimin adalah seorang khalifah di bawah bendera Islam. Jadi apabila Khalifah telah diangkat, berarti terwujudlah Jama’ah kaum muslimin, yang mana mereka wajib bergabung kepada jamaah itu dan diharamkan keluar darinya. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
    “Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujuinya) dari Amirnya hendaknya ia sabar. Karena, siapa saja yang memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyah”.
    Imam muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda:
    “Siapa saja yang membenci sesuatu dari Amirnya hendaklah ia bersabar. Sebab, siapa saja yang keluar dari sulthan barang sejengkal kemudian mati, matinya (seperti) mati jahiliyah”.
    Pengertian dua hadist ini adalah keharusan untuk selalu berada dalam Jama’ah dan Sulthan.

    Orang non muslim tidak berhak membai’at Khalifah dan tidak pula diwajibkan atas mereka berbai’at. Sebab, bai’at itu adalah bai’at atas dasar Islam, Kitabullah, dan Sunnah RasulNya, yang mana hal ini menuntut adanya iman kepada Islam, Kitabullah, dan Sunnah Nabi. Orang-orang non muslim tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan dan tidak boleh pula ikut memilih penguasa sebab mereka tidak diberi kesempatan untuk menguasai kaum muslimin dan tidak pula ada tempat bagi mereka dalam hal bai’at.

    From : darisislam@yahoo.co.id

  4. oke

  5. Al Khilafah

    Al Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban da’wah ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khila¬fah adalah Imamah. Imamah dan khilafah mempunyai arti yang sama. Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki konotasi yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun, baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin boleh menuggunakan salah satu dari kedua¬nya, apakah istilah khilafah ataupun imamah. Sebab yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.

    Khilafah adalah akad yang dibangun berdasarkan kerelaan dan pilihan, karena merupakan bai’at untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Jadi dalam hal ini harus ada kerelaan dari pihak yang dibai’at untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan pihak yang membai’atnya. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimanya, tetapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan itu. Demikian pula tidak boleh mengambil bai’at dari kaum muslimin dengan kekerasan dan pemaksaan, karena dalam kea¬daan demikian akad yang dilakukan tidak dianggap sah. Sebab, khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pili¬han, tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan sebagaimana halnya pada akad-akad umumnya.

    Hanya saja ketika pelaksanaan akad bai’at telah sempurna dilaksanakan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk membai¬’at, maka sahlah akad bai’at itu. Dalam hal ini orang yang dibai¬’at telah menjadi Waliyul Amri, pemegang tampuk kekuasaan, yang harus ditaati. Status bai’at yang diberikan kepadanya setelah itu menjadi bai’at taat, bukan lagi bai’at untuk akad khilafah. Pada saat itu dia boleh memaksa orang-orang yang belum berbai’at untuk berbai’at kepadanya, karena pemaksaan tersebut adalah untuk mentaatinya dan secara syar’i hal ini hukumnya wajib. Pemaksaan bai’at tersebut bukan untuk akad bai’at mewujudkan khilafah se¬hingga bisa dinyatakan tidak sah apabila di dalamnya ada unsur paksaan. Atas dasar itu bai’at pada tahap awal merupakan suatu akad yang hanya bisa dikatakan sah manakala terdapat kerelaan dan pilihan dari kedua pihak. Adapun setelah dilaksanakan akad bai’at pengangkatan khalifah, hal itu berubah menjadi ketaatan, yaitu kesiapan melaksanakan perintah khalifah, dan untuk ini boleh ada pemaksaan dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT.

    Oleh karena khilafah merupakan suatu akad, maka tidak akan sempurna tanpa adanya Akid, yaitu pihak pertama yang menginginkan akad. Sebagaimana halnya dalam masalah pengadilan (qadla), seseorang tidak sah menjadi Qadli kecuali setelah pihak yang berwenang menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Demikian pula dalam masalah pemerintahan, seorang amir tidak sah kecuali sete¬lah jabatan tersebut diserahkan kepadanya oleh pihak yang memi¬liki wewenang dalam hal ini. Dalam hal khilafah, seseorang tidak akan menjadi khalifah tanpa adanya suatu pihak yang men¬gangkatnya. Jelaslah bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kalau kaum muslimin, sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, tidak menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Dia akan memiliki wewe¬nang pemerintahan hanya jika pelaksanaan akad khilafah kepadanya berjalan secara sempurna. Akad ini tidak akan terlaksana tanpa adanya dua pihak yang berakad. Pihak pertama adalah orang yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan khila¬fah. Pihak kedua adalah kaum muslimin yang telah rela sepenuhnya kepada pihak pertama untuk menjadi khalifah mereka. Oleh karena itu, dalam hal pengangkatan khilafah harus ada bai’at dari kaum muslimin.

    Dengan demikian, jika ada seseorang merebut kekuasaan dan berhasil mengambil alih pemerintahan, maka tidak secara otomatis menjadi khalifah, sekalipun telah memproklamirkan diri sebagai khalifah kaum muslimin, karena dia tidak diangkat oleh kaum muslimin. Kalaupun seandainya orang itu mampu mengambil bai’at dari kaum muslimin dengan cara paksa dan kekerasan, statusnya tetap tidak menjadikannya khalifah –walaupun bai’at telah di¬langsungkan. Sebab, bai’at dengan cara paksa dan atau tekanan tidak dianggap sah dan tidak dapat mewujudkan akad khilafah, karena khilafah adalah akad saling rela dan bebas memilih yang tidak akan sempurna apabila pelaksanaannya terdapat unsur paksaan dan tekanan. Walhasil, akad khilafah hanya akan terwujud dengan bai’at yang dilandasi dengan kerelaan dan pilihan.

    Namun, kalau orang yang merebut kekuasaan itu dapat meyakin¬kan kaum muslimin bahwa kemaslahatan mereka akan terwujud dengan berbai’at kepadanya; juga bahwa tegaknya hukum syara’ telah mengharuskan mereka berbai’at kepadanya; dan mereka pun mau menerimanya dengan rela, lalu membai’atnya dengan penuh kerelaan dan kebebasan memilih, maka jadilah ia seorang khalifah yang sah semenjak bai’at –yang penuh kerelaan dan kebebasan memilih– dilaksanakan, walaupun pada awalnya ia mengambil kekuasaan dengan cara paksa. Jadi yang menjadi syarat ialah terwujudnya bai’at dengan kerelaan dan kebebasan, walaupun orang yang dibai’at tersebut telah menjadi seorang penguasa/pemerintah ataukah belum.

    Adapun orang-orang yang bai’atnya representatif sehingga khilafah terwujud dengan sah dapat difahami dari apa yang pernah terjadi pada pembai’atan Khulafaur Rasyidin dan ijma’ para shaha¬bat. Pembai’atan Abu Bakar Ash Shiddiq cukup dilakukan oleh Ahlul-Halli wal ‘Aqdi dari kalangan kaum muslimin yang berada di Madinah saja. Kaum muslimin yang berada di Makkah maupun di seluruh jazirah Arab, tidak dimintai pendapatnya, bahkan mereka tidak ditanya. Demikian pula halnya pada pembai’atan Umar bin Khaththab. Sedangkan pada pembai’atan Utsman, Abdurrahman bin Auf ternyata mengambil pendapat seluruh kaum muslimin di Madinah, dan tidak membatasi pendapat hanya dari ahlul-halli wal ‘aqdi sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ketika mencalonkan Umar. Pada masa Ali bin Abi Thalib, pembai’atan cukup dilakukan oleh mayoritas penduduk Madinah dan penduduk Kufah. Beliaulah satu-satunya orang yang dibai’at. Bai’atnya dianggap sah, sampaipun dalam pandangan orang-orang yang menentang dan memeranginya. Sebab, terbukti bahwa mereka tidak membai’at yang lain dan tidak menyangkal pembai’atannya. Mereka hanya menuntut keadilan atas tumpahnya darah Utsman. Jadi status mereka dihukumi sebagai bughat (pemberontak) yang menentang khalifah mengenai suatu persoalan. Khalifah hendaknya menjelaskan persoalan tersebut kepada mereka dan memerangi mereka. Merekapun terbukti tidak membentuk khilafah yang lain.

    Dari semua yang telah terjadi –yaitu pembai’atan khalifah oleh mayoritas penduduk ibukota saja tanpa menyertakan penduduk daerah– semuanya didengar dan disaksikan oleh para shahabat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang dan mengingkari tindakan yang hanya mencukupkan pembai’atan dilakukan oleh mayo¬ritas penduduk Madinah, kendati dalam masalah lain –tentang pribadi calon khalifah atau tindakan-tindakannya– mereka saling berselisih pendapat, namun ternyata mereka tidak mengingkari tindakan mencukupkan pembai’atan dari mayoritas penduduk Madinah.
    Dengan demikian hal itu menjadi ijma’ shahabat bahwa akad khilafah dapat diwujudkan oleh orang-orang yang dapat mewakili kaum muslimin dalam hal pemerintahan. Sebab ahlul halli wal ‘aqdi dan sebagian besar penduduk Madinah pada waktu itu dianggap mewakili pendapat mayoritas umat tentang pemerintahan di seluruh wilayah daulah Islam.
    Atas dasar ini khilafah dapat terwujud dengan sah jika pembai’atannya dilaksanakan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umat Islam yang berada dalam wilayah ketaatan kepada khalifah sebelumnya, dimana akan dilangsungkan pemilihan penggantinya sebagaimana yang terjadi pada masa khula¬faur rasyidin. Pada saat itu bai’at mereka menjadi bai’at in’i¬qad khilafah. Adapun setelah bai’at in’iqad terlaksana, maka bai’at yang dilakukan oleh selain para wakil tersebut adalah bai’atuth tha’at, yaitu bai’at untuk melaksanakan perintah khali¬fah, jadi bukan bai’at untuk mengangkat khalifah.

    apabila salah satu negeri Islam tertentu telah membai’at seorang khalifah dan sah aqad in’iqadnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berbai’at kepadanya sebagai bai’at taat, yaitu bai’at ketundukan, setelah khilafah terwujud dengan pembai’atan penduduk negeri itu. Dalam hal ini tidak dibedakan, apakah negeri tersebut adalah negeri yang besar seperti Mesir, Turki, Indonesia, ataukah negeri kecil seperti Albania, Kamerun, atau Lebanon. Yang penting negeri itu memenuhi empat syarat, yaitu:

    1. Kekuasaan negeri itu haruslah mandiri, hanya bersandar kepada kaum muslimin saja dan bukan kepada salah satu negara kafir atau di bawah pengaruh orang-orang kafir.

    2. Keamanan bagi kaum muslimin di negeri itu adalah keamanan Islam bukan keamanan kufur, artinya pemeliharaan keamanan mereka dari gangguan luar dan dalam negeri, berasal dari kekuatan kaum muslimin sebagai suatu kekuatan Islam semata.

    3. Negeri tersebut segera menerapkan Islam secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban da’wah Islam.

    4. Khalifah yang diba’iat harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat afdlaliyah, karena yang menjadi patokan adalah syarat-syarat in’iqad.

    Jadi, apabila negeri itu telah memenuhi empat syarat terse¬but berarti khilafah telah terwujud dengan terlaksananya bai’at di negeri itu kepada khalifah, walaupun negeri itu tidak mewakili mayoritas Ahlul Halli Wal ‘Aqdi bagi sebagian besar umat Islam. Sebab mendirikan khilafah adalah fardlu kifayah. Bagi yang menjalankan fardlu itu dalam bentuk yang benar, berarti telah berhasil melaksanakan sesuatu yang difardlukan. Adapun persyara¬tan mayoritas ahlul-halli wal aqdi itu berlaku manakala khilafah telah ada dan hendak diangkat khalifah baru sebagai pengganti khalifah sebelumnya yang meninggal atau diberhentikan.

    Namun apabila keadaan benar-benar tidak ada khilafah dan baru hendak ditegakkan, maka dengan sekedar terwujudnya khilafah yang sesuai dengan ketentuan syara’ berarti khilafah telah terwu¬jud, siapapun yang menjadi khalifahnya asal memenuhi syarat-syarat in’iqad, dan berapa pun jumlah orang yang berbai’at kepa¬danya. Sebab dalam keadaan seperti di atas, yang menjadi perma¬salahan adalah melaksanakan suatu kewajiban yang tidak dijalankan oleh kaum muslimin dalam tempo lebih dari tiga hari. Kelalaian mereka ini sama saja dengan membuang hak untuk memilih orang yang mereka kehendaki. Jadi cukuplah apabila ada sebagian orang yang dapat melaksanakan fardlu dalam pengangkatan khilafah tersebut.
    Jika khilafah telah berdiri di negeri itu dan khalifah telah terwujud, maka kaum muslimin di seluruh dunia wajib untuk berga¬bung di bawah panji khilafah dan berbai’at kepada khalifah. Sebab kalau tidak, semuanya akan berdosa di sisi Allah. Dalam hal ini khalifah harus mengajak mereka agar berbai’at kepadanya. Kalau mereka tetap tidak mau, maka mereka dapat dianggap sebagai bughat, dan khalifah wajib memerangi mereka sampai akhirnya tunduk dan mentaatinya
    Jika terjadi pembai’atan khalifah lain di negeri yang sama ataupun di negeri lain setelah khalifah yang pertama dibai’at secara syar’i dan telah memenuhi empat persyaratan tersebut, maka wajiblah kaum muslimin memerangi khalifah yang kedua sampai berbai’at kepada khalifah yang pertama. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
    “(Dan) Siapa saja yang telah berbai’at kepada seorang imam dan dia pun telah memberikan transaksi tangannya dan buah hatinya, hendaknya ia mentaati imam itu selagi masih mampu. Jika ada orang lain akan mencabut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang lain itu”.

    Juga berdasarkan fakta bahwa yang menyatukan kaum Muslimin adalah seorang khalifah di bawah bendera Islam. Jadi apabila Khalifah telah diangkat, berarti terwujudlah Jama’ah kaum muslimin, yang mana mereka wajib bergabung kepada jamaah itu dan diharamkan keluar darinya. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
    “Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujuinya) dari Amirnya hendaknya ia sabar. Karena, siapa saja yang memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyah”.
    Imam muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda:
    “Siapa saja yang membenci sesuatu dari Amirnya hendaklah ia bersabar. Sebab, siapa saja yang keluar dari sulthan barang sejengkal kemudian mati, matinya (seperti) mati jahiliyah”.
    Pengertian dua hadist ini adalah keharusan untuk selalu berada dalam Jama’ah dan Sulthan.

    Orang non muslim tidak berhak membai’at Khalifah dan tidak pula diwajibkan atas mereka berbai’at. Sebab, bai’at itu adalah bai’at atas dasar Islam, Kitabullah, dan Sunnah RasulNya, yang mana hal ini menuntut adanya iman kepada Islam, Kitabullah, dan Sunnah Nabi. Orang-orang non muslim tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan dan tidak boleh pula ikut memilih penguasa sebab mereka tidak diberi kesempatan untuk menguasai kaum muslimin dan tidak pula ada tempat bagi mereka dalam hal bai’at.

Tinggalkan komentar